Senin, 14 November 2011

Musik dan Film : Bukan Sekedar Latar

Bayangkan: adegan menegangkan di shower (gadis yang akan ditikam ketika mandi) dalam film Psycho (Alfred Hitchcock) yang terkenal itu ...tapi tanpa musik! Film thriller tanpa musik? Ada sekian tingkat ketegangan yang hilang tanpa bantuan musik.
Musik telah jadi bagian tak terpisahkan dari film (genre apapun). Bahkan musik-musik film tertentu tertanam dalam-dalam pada benak penontonnya. Sebagian orang akan selalu terbuai ke dunia jauh, ke alam Cassablanca, jika mendengar As Time Goes By. Sebagian orang masih menyenandungkan Lara's Theme dan teringat epik cinta Doctor Zhivago. Atau menyiulkan lagu tema Love Story pada saat merasa romantis. Banyak film yang menjadi abadi karena lagu/musik mereka.
Dan Hollywood dengan sigap mengindustrikan fenomena tersebut. Musik/lagu dari film - layar lebar ataupun televisi - menjadi sebuah komoditi tersendiri.
Perkembangan
Di era film bisu, musik jadi latar dengan berbagai alasan: sebagai warisan tradisi teater, sebagai peredam suara berisik dari proyektor, dan sebagai pemberi 'kedalaman' pada gambar bisu dua dimensi di layar.
Di era film bersuara, musik film mulai menyusun bahasanya tersendiri. Pada awalnya musik film melanjutkan tradisi era film bisu, yaitu menggunakan khasanah musik Barat yang telah ada - terutama musik klasik Eropa abad 19. Pada era 1930-an, mulai umum untuk menuliskan komposisi khusus untuk sebuah film. Sebagian sineas - seperti para sineas di Rusia - menggunakan musik dalam rangka eksplorasi relasi antara musik (sebagian bagian dari suara) dan gambar. Tapi kebanyakan film menempatkan musik sebagai dekor atau alat bantu saja dalam membangun suasana.
Dalam era 1930-an itu Hollywood mulai menyususn kamus musik film lewat para komposer yang terdidik dalam tradisi musik Eropa. Kosa musik-film itu mapan di era 1940-an. Nama-nama terkemuka pada masa itu antara lain Max Steiner (King Kong (1933)) dan Bernard Herrmann - dengan karya mencakup Citizen Kane (1941) hingga Psycho (1960).
Dominasi kosa musik-film yang menggunakan simfoni dan bergaya Eropa mulai didobrak di tahun 1950-an: pengaruh jazz masuk ke arus besar film Hollywood. Para pemulanya antara lain adalah Alex North (A Street Car Named Desire (1951), Cleopatra (1963), Who's Affraid of Virgina Wolf? (1966)) dan Elmer Bernstein (The Man With The Golden Arm (1955), Magnificent Seven (1960)). Salah satu komposer paling terkenal aliran itu adalah Henry Manciny. Musik film dengan pengaruh jazz memang wajar disukai para pembuat film karena di samping ekspresif, lebih kontemporer dari musik gaya romantik Eropa, juga tak memerlukan orkestra besar, hingga bisa lebih murah.
Era 1950-an adalah juga era eksperimen musik/bunyi yang lebih beragam. Di India, Satyajit Ray menggunakan musik etnis karya Ravi Shankar untuk filmnya, Pather Panchali. Di Jepang, Fumio Hayasaka menggunakan alat-alat musik Jepang untuk film Akira Kurosawa, Rashomon (1950) dan Seven Samurai (1955). Eropa melahirkan pakem musik-film dengan orkes studio yang kecil. Gerakan new-wave di Perancis turut mempopulerkan pakem itu, dan melahirkan tokoh musik-film seperti Michael Legrand (The Umbrellas of Cherbourg (1964), Summer of '42 (1972) - di situ ia memenangkan Oscar, dan Yentl (1983) - juga memenangkan Oscar).
Eksperimentasi tahun 1950-an dilanjutkan dengan eksperimentasi tahun 1960-an. Dunia sedang dilanda revolusi musik, dengan pahlawan utamanya: The Beatles. Yang paling menonjol dari revolusi musik itu - disamping mencuatnya ragam bunyi etnis dan jazz - adalah mencuatnya musik rock sebagai kekuatan baru. Khasanah musik film pun ikut kena imbas, dan pengaruh rock mulai tertanam. Salah satu empu musik film dengan pengaruh rock itu adalah John Barry yang karyanya mengisi hampir seluruh film James Bond, juga, antara lain, Born Free (1966), Out of Africa (1985), Dances With Wolves (1990) dan Indecent Proposal (1993).
Pada tahun 1980-an, beberapa kecenderungan mutakhir mencuat ke permukaan. Pertama, penggunaan synthesizer. Nama-nama yang menonjol dalam arus itu adalah Vangelis (Chariots of Fire (1981), Blade Runner (1982)), Tangerine Dream (Legend (1985), Vision Quest (1985)) dan Giorgio Moroder (Flash Dance (1983) dan Top Gun (1986)). Musik film dengan synthesizer memberi nuansa yang khas: bunyi-bunyi buatan elektroniknya amat tepat untuk membangun atmosfer 'dunia yang lain' (alam dongeng, futuristik atau mimpi) pada gambar di layar.
Trend kedua, musik avant garde tak hanya jadi 'milik' film avant garde saja. Musik garda depan masuk juga ke arus besar. David Byrne, seorang musisi avant garde, menyusun komposisi untuk Something Wild (1986) dan ikut membantu dalam The Last Emperor (1987) yang, antara lain, memenangkan Oscar untuk tata musiknya.
Trend ketiga adalah kecenderungan membangun tata musik film dari lagu-lagu populer. Film-film seperti Big Chill (1983), Down And Out in Beverly Hills (1986) dan Good Morning, Vietnam (1987) dengan sengaja membangun suasana lewat musik-musik lawas yang sudah membenam dalam kesadaran kolektif penonton Amerika - dalam dua film pertama, hal itu memang diharuskan oleh cerita. Variasi lain dari trend itu adalah tata musik film yang memang dengan sadar memilih lagu-lagu rock yang sedang atau akan digemari, seperti Against All Odds (1984 - dan mempopulerkan single dari Phil Collins dengan judul sama) dan White Nights (1985 - mencuatkan hit Lionel Ritchie, Say You Say Me). Variasi tersebut terpengaruh sebuah serial televisi, Miami Vice.
Trend terakhir pula yang membuka peluang bagi meriahnya musik alternatif dan musik 'hitam' - terutama R&B dan rap - menghias film-film Hollywood tahun 1990-an. Menguatnya black music berkait juga dengan munculnya trend black movies di Hollywood yang dimotori oleh Spike Lee (Jungle Fever, Malcom X) dan John Singleton (Boyz 'n The Hood, Poetic Justice). Namun, tata musik black music untuk black movies yang cenderung rasialis itu melebar juga ke arus besar yang dikuasai sineas 'bule'. Contohnya, Space Jam: film itu tampak sebagai 'milik' orang hitam - pahlawan basket Michael Jordan serta musik R&B dan rap mendominasi film. Padahal tokoh-tokoh kartun Loonie Toons (lawan main Jordan), adalah produk budaya 'putih' Amerika (belum lagi jajaran produser film tersebut, yang mengeruk untung besar dengan menjual muatan 'hitam' itu, juga kulit putih).
Berburu ‘harta karun’
Dengan segala perkembangan tersebut dunia tata musik film menjadi sebuah lahan koleksi yang menyenangkan dan berharga. Di Jakarta, para kolektor biasa mengaduk-aduk toko macam Duta Suara (terutama yang di Sabang) dan Aquarius (khususnya yang di Pondok Indah - sayang, sudah dibakar massa Mei 1998 lalu). Keduanya terhitung punya koleksi paling lengkap. Aquarius Pondok Indah malah menyertakan juga koleksi musik dari drama-drama musikal Broadway (seperti Jesus Christ Superstars, Cats, Miss Saigon). Yang lebih rajin bisa ju0ga mengaduk-aduk Glodok atau kios-kios musik loakan di Jalan Surabaya. Di Jalan Surabaya, disamping CD-CD dan kaset-kaset bekas, juga dijual video dan piringan hitam - sering dengan kualitas yang masih lumayan terjaga. Berhubung kios loakan, maka rekaman-rekaman sound track yang dijual kebanyakan dari film-film lama (1960-an hingga 1970-an). Buat para kolektor, hal itu justru mengasyikkan.
Dari khasanah musik film kita juga bisa menemukan 'harta karun' yang sukar ditemukan dalam rak-rak musik lain. Misalnya dalam OST Leaving Las Vegas, Sting menyanyikan lagu-lagu karya sang sutradara, Mike Figgis, yang khusus ditata untuk film tersebut. Para penggemar Sting tentu saja tak akan menemukan lagu-lagu tersebut pada album-album Sting. Contoh lain, para penggemar Led Zeppelin bisa mengobati rindu mereka dengan mendengar karya-karya dua eksponen grup legendaris itu, Jimmy Page dan John Paul Jones, dalam dua karya sutradara Michael Winner. Page menata musik Death Wish II (Charles Bronson), dan Jones menata musik Scream For Help (yang melejitkan hit Christie dengan vokal Jon Anderson).
‘Harta karun’ lain adalah jika seorang bintang benar-benar menyanyikan sendiri lagu dalam filmnya. Dalam Evita, misalnya, semua bintang menyanyikan sendiri lagu-lagu yang ditampilkan - termasuk Antonio Banderas. Sebelumnya, Banderas juga menyanyikan sebuah lagu dalam Mambo King. Atau jika ingin mendengar suara sexy Michelle Pfeifer, silahkan putar OST Faboulus Baker Boys (adegan paling terkenal dalam film itu adalah saat Pfeifer menyanyikan Makin' Whoopee di atas piano). Yang lebih unik adalah kasus Blues Brothers dan The Commitments: keduanya adalah film tentang kelompok musik fiktif, tapi kemudian para pemerannya malah jadi musisi betulan!
Hal lain yang mengasyikkan dalam berburu musik film adalah seringkali musik yang kita dengar lamat-lamat, separuh-separuh, atau sambil lalu (tanpa sadar, karena kita sedang terpesona oleh gambar/adegan) saat menonton ternyata merupakan komposisi yang bermutu dan dikerjakan secara serius oleh musisi yang piawai. George & Ira Gershwin, Maurice Jarre, Henry Manciny, Bernard Hermann, John Barry, adalah contoh nama-nama terhormat: kumpulan karya-karya mereka untuk berbagai film telah menjadi tonggak musik tersendiri.
Indonesia juga punya nama terhormat: Idris Sardi. Beliau terhitung paling piawai dalam menata musik yang bisa memberi tekanan suasana tertentu pada citra yang bergerak di layar. Juga Eros Djarot - karya-karyanya dalam Badai Pasti Berlalu telah menjadi tonggak musik pop tanah air dengan melejitkan Chrisye dan Keenan Nasution. Namun seiring dengan 'tidur'-nya film Indonesia, mereka seperti ikut terbungkam dalam berkarya.
Sayangnya kesadaran kita untuk mendokumentasikan tata musik film - sebagaimana kesadaran kita untuk mendokumentasikan film-film nasional - amat minim. Tapi era 1990-an adalah masa yang menarik untuk perkembangan OST dalam negeri. Yang merajai pasar adalah OST film-film TV produk luar (khususnya Hong Kong) yang di-Indonesia-kan. Bermula dari sukses lagu tema Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti yang dinyanyikan Yuni Shara, para penyanyi lokal lain banyak mengalami sukses serupa. Belakangan, OST sinetron-sinetron lokal pun lumayan laku dijual. Tapi, sebagaimana film nasional secara umum, lahan musik film kita pun belum optimal digarap. ***
Penulis adalah redaktur rumahfilm.org. Lebih dikenal sebagai pengamat komik, mengawali karir menulis dengan mengamati berbagai segi budaya populer, buku, dan film. Tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar